Cetak Sawah Baru Kurang Berdampak

Program cetak sawah di Kalimantan Tengah dinilai bukan solusi untuk mencapai kedaulatan pangan di Indonesia. Itu berkaca dari proyek lumbang pangan di sejumlah wilayah yang merugikan masyarakat.

Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia mengatakan, sejumlah proyek cetak sawah tak berdampak maksimal, antara lain, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang lalu berubah jadi Merauke Food Estate (MFE) di Papua dan Ketapang Food Estate (KFE) di Kalimantan Barat.

Menurut Laksmi, pengelolaan proyek lumbung pangan itu oleh korporasi tak punya ruang integrasi sosial budaya warga setempat pada ekonomi baru. Itu mengubah lanskap secara masif sehingga memicu masalah ekologis.

Di semua wilayah food estate itu, yang paling beruntung ialah makelar tanah dan makelar tenaga kerja. “Proyek itu banyak sekali masalah di lapangan. Di semua area food estate, yang paling beruntung adalah broker tanah maupun broker tenaga kerja,” ujarnya dalam diskusi daring, Rabu (1/7/2020), di Jakarta.

Kedaulatan pangan sulit tercapai karena Indonesia jadi bagian sistem pangan global. Karakteristik sistem ini, antara lain, berorientasi produksi, ada spesialisasi wilayah, dan korporatisasi pertanian.

Dalam mencapai kedaulatan pangan, perlu gerakan sosial dan perubahan kebijakan Negara yang melindungi dan memenuhi hak pangan dan gizi. Itu bertujuan mereformasi sistem pangan yang terbelenggu rezim pasar bebas.

Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengemukakan, lahan gambut ada yang diperuntukkan sebagai fungsi budidaya dan lindung. Sementara program cetak sawah dari pemerintah dilakukan di lahan dengan fungsi budidaya dan nongambut.

Menurut Azwar, yang meninjau langsung area cetak sawah di Kalimantan Tengah, rencana kegiatan tanaman pangan itu tidak hanya di bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) 1995, tapi juga di bekas Proyek Pembukaan Persawahan Pangan Surut (P4S) pada 1974.

Karakteristik lahan itu kurang cocok ditanami tanaman produksi. Karena itu, perlu konsep perbaikan sistem tata air sesuai kemauan tanaman sehingga ada sirkulasi air. Perbaikan ini mampu  membilas sumber racun dari tanah.

Selain itu, perlu perbaikan media tanam berupa pengeluaran racun, pemberian pupuk, dan menjaga gangguan tanaman. “Kajian ini harus diikuti dan sejalan perkembangan tata air,” katanya. (MTK)

Sumber: http://echogreen.id/cetak-sawah-baru-kurang-berdampak/

Petani Kecil Menjaga Keragaman Hayati

Petani kecil berperan penting mengembangkan keanekaragaman hayati pangan di Indonesia. Mereka membudidayakan ribuan spesies tanaman dan kerabat liar tanaman secara gratis. Hal itu mengemuka dalam diskusi daring “Pangan, Hak-hak Petani dan Keanekaragaman Benih sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim”, di Jakarta, Rabu (1/7/2020). Koordinator nasional perkumpulan Indonesia Berseru Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, menurut Badan Pusat Statistik, jumlah petani di Indonesia menurun hingga 10 juta orang tahun 2013-2019. Sebab, penghasilan petani tak menjanjikan. Karena itu, hak petani mesti dilindungi sesuai Perjanjian Internasional tentang Sumber Daya Genetik Tumbuhan untuk Pangan dan Pertanian. Petani berhak mendapat pengakuan atas kontribusi konservasi dan pengembangan berkelanjutan. (MTK)

Sumber: http://echogreen.id/petani-kecil-menjaga-keragaman-hayati/

Kegigihan Petani Muda

Dengan nilai pas-pasan, setelah lulus SMP, Rayndra diterima di jurusan pertanian SMKN Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Awal bersekolah di SMK bidang pertanian, Rayndra masih enggan. Saat praktik lapangan kerja di perusahaan yang mengelola 5.000 ayam petelur, Rayndra baru tersadar sulitnya mencari uang. Ia pun menyesal pernah menjadi anak nakal dan enggan belajar.

“Saya dikerjain pegawai di kandang pas PKL untuk bekerja keras. Di situlah saya merasakan mencari uang itu susah. Saya mikir, kenapa selama ini enggak jadi anak yang benar. Saya bertekad untuk berubah,” ujar Rayndra yang dihubungi dari Magelang, Rabu (1/7/2020).

Rayndra semakin giat belajar dan meraih sederet prestasi. Dia dipilih mewakili sekolah di ajang Lomba Kompetensi Siswa bagi siswa SMK dan masuk enam besar se-Jawa Tengah.

Lalu, timbul di benaknya untuk menjadi wirausaha di bidang petanian. Ia memulainya dengan berjualan sayur-mayur produksi gurunya di SMK. “Saya sering jualan di acara car free day, menenteng kotak berisi sayur. Teman-teman lain mejeng, saya pede saja jualan,” ujar Rayndra.

Ia memberanikan diri meminta modal kepada ayahnya sebesar Rp 2 juta. Saat lulus sekolah, dia sudah menjual sampai 1.000 ayam. “Tetapi bukannya untung, malah rugi. Saya baru tahu, harga ayam pedaging fluktuatif. Panen dua kali, rugi terus karena harga jual rendah sampai uang saya habis,” cerita Rayndra.

Kegagalan tak membuatnya menyerah. Tahun 2014, Rayndra mendapat beasiswa kuliah diploma empat di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang. Saat kuliah, Rayndra tetap berwirausaha dengan menjadi penjual hewan ternak milik tetangganya. Tanpa modal, ia menawarkan kambing dan ayam kepada pembeli.

Tiap hari pukul 02.00-05.00, Rayndra juga mencabuti bulu ayam, lalu mengantar ayam yang sudah bersih ke pasar pukul 06.00. Sejam kemudian, ia bersiap kuliah tanpa mengantuk.

Ternyata ada pejabat Kementrian Pertanian saat bermalam di kampus melihat kegiatan Rayndra. Kegigihannya menginspirasi kemunculan program Penumbuhan Wirausahawan Muda Pertanian (PWMP). Tahun 2016, Rayndra mendapat modal Rp 15 juta dari PWMP. Bersama dua temannya, ia membuat bisnis dengan nama Cipta Visi Group. Wirausaha dimulai dengan membuka peternakan ayam jawa super, persilangan ayam petelur dan ayam Bangkok. Sisa keuntungan dikembangkan jadi peternakan kambing. Bisnis ditingkatkan dengan tambahan modal dari pinjaman bank Rp 50 juta.

Bisnis berkembang sehingga pada tahun 2018 Rayndra mendapat PWMP lagi Rp 30 juta. Mereka mampu menarik investor dengan konsep beternak kambing, domba, dan sapi yang minim modal serta pertanian terintegrasi dengan sentuhan inovasi dan tenknologi.

Selama tiga tahun, kini ada 700 kambing dan 20 sapi. Kandang tersebar di Desa Sidorejo, Desa Ngadirejo, dan Desa Pangarengan. Ada juga pencacah sampah plastik dengan kapasitas 5 ton per minggu.

Rayndra yakin tiap desa mempunyai potensi pertanian yang bisa menjadi sumber kehidupan bagi anak muda. Ia ingin mengubah gambaran petani yang kotor dan miskin menjadi petani gaul yang melek internet, teknologi dan inovasi, serta bermanfaat bagi masyarakat desa.

Kandang-kandang hewan ternak milik Rayndra dibuat sederhana dengan bahan kayu bekas atau bahan murah lainnya. Dia juga membuat pakan hewan dari pohon jagung yang tak dimanfaatkan dengan cara difermentasi. “Saya buat kandang sederhana supaya bisa ditiru. Kalau investasi awal sudah tinggi, nanti orang tak tertarik. Yang penting tujuan dan manfaatnya sama,” ucap Rayndra yang sedang kuliah S-2 di UPN Veteran Yogyakarta.

Penampilan Rayndra tidak kucel. Ia mendesain kaus kekinian berisi motivasi menjadi petani, seperti kaus bertukiskan “Yo Ngarit Yo Ngopi”. “Saya memakai kaus begini supaya enggak malu menjadi petani. Berat, lho, untuk percaya diri menjadi petani,” ujarnya.

Rayndra mencoba mengajak kaum muda dalam usaha pertanian yang identik dengan desa ini. Alasannya, omzet di sektor pertanian dan peternakan besar, bisa mencapai Rp 100 juta-Rp 250 juta per bulan, karena tak banyak orang melirik usaha ini. Dia mau membimbing dan memodali anak muda yang memiliki proposal bagus dalam bisnis pertanian. “Anak muda masih malu untuk berusaha di sektor pertanian dan peternakan. Kian jarang ada petani berusia kurang dari 25 tahun di desa-desa,” katanya.

Rayndra membuktikannya dengan menggagas badan usaha milik desa (BUMDes) di tempat tinggalnya di Desa Losari, Kecamatan Pakis, Magelang. Dia ditunjuk menjalankan BUMDes Losari dengan modal Rp 100 juta. Saat itu, ia menjadi direktur BUMDes termuda di Jawa Tengah.

Rayndra sering turun ke desa-desa untuk memberi pelatihan bertani dan berternak guna menambah pendapatan keluarga. “Saya melihat banyak potensi besar, produk lokal ataupun budaya, yang bisa dikembangkan untuk kesejahteraan bersama,” ujarnya.

Oleh Ester Lince Napitupulu

Sumber: http://echogreen.id/kegigihan-petani-muda/

Gang Hijau, Penyelamat Pangan Warga Jakarta

Tidak ada kesan pengap saat melintasi Gang Nanas di RT 003 RW 007, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Jalan selebar kurang dari 2 meter itu juga tidak terlihat sempit. Ratusan tanaman yang dipajang pada kanan-kiri gang, seakan membuat pelintas hanya merasakan keasriannya.

Tanaman hias dan tanaman obat keluarga (toga), seperti lidah mertua (Sansevieria), daun ungu (Graptophyllum pictum), kelor (Moringa oleifera), atau gelombang cinta (Anthurium) hampir bisa ditemui sejak pintu masuk hingga sepanjang 500 meter gang. Tidak hanya itu, sejumlah tanaman jenis sayuran juga bercokol pada sejumlah rak hidroponik di sisi-sisi gang. “Sayuran-sayuran dari hidroponik ini kami bagikan secara gratis kepada warga,” kata Rafael Sugito, Ketua RT 003 RW 007 Kelurahan Srengseng.

Sebelumnya, sayuran-sayuran, seperti kangkung, bayam, atau sawi dijual kepada warga sekitar RT 003 dan RT lain dengan harga murah. Sebagai perbandingan, jika satu ikat besar kangkung di pasaran dijual Rp 20.000, kangkung hasil panen mereka hanya dijual Rp 10.000. “Hasil penjualan itu kami belikan bibit dan nutrisi, agar kami bisa menyemai lagi,” katanya.

Gang hijau di Kelurahan Srengseng pertama kali muncul berkat inisiatif dari Sugito. Pada 2016, ia mengikuti pelatihan hidroponik di Pluit, Jakarta Utara. Hasil dari pelatihan itu, langsung ia praktikkan di lapangan bulu tangkis kampungnya.

Warga yang melihat kreasi Sugito tertarik mengikuti jejaknya. Karena lahan yang tersedia sangat terbatas, warga kemudian membuat hidroponik bersama. Mereka juga membentuk Komunitas Petani Kota Gang Hijau Nanas.

Seiring berjalannya waktu, warga RT 003 tidak hanya menanam sayuran di hidroponik. Mereka juga menanam tanaman hias dan toga. Tidak mengerankan jika saat ini ratusan toga bercokol di sisi-sisi gang. “Pada 2017 ada bantuan tanaman dan pot dari Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) Jakarta Barat,” tambah Sugito.

Warga tak hanya mengandalkan bantuan. Mereka juga mengumpulkan uang secara swadaya untuk membeli pot dan tanaman yang lebih banyak. Tidak ada tanaman milik perorangan di Gang Hijau Nanas. Seluruhnya milik bersama.

Dari situ, para warga memiliki tanggung jawab yang sama dalam merawat tanaman yang terletak di depan rumah masing-masing. “Setiap 17 Agustus kami adakan lomba. Bagi yang tanaman di depan rumahnya paling bagus dan terawat kami berikan hadiah. Daster untuk ibu-ibu, baju untuk bapak-bapak,” kata Sugito.

Jika keberadaan sayuran dan toga dapat dikonsumsi warga, tanaman hias bukan sekedar untuk menambah keasrian gang. Menurut Sugito, keberadaan tanaman hias juga cukup krusial untuk menyerap polutan. Seperti diketahui, setiap kemarau seperti sekarang ini, kualitas udara di Jakarta cenderung memburuk.

Sumber nutrisi

Pegiat gang hijau “Ampar Adhum” yang berlokasi di RT 007 RW 008 Kelurahan Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur, Fikri Husin, mengatakan, hingga kini memiliki 30 rak hidroponik. Setiap rak berisi 64 netpot atau pot berukuran kecil.

“Berarti kami punya sekitar 1.920 netpot di gang hijau kami,” katanya dalam webinar “Strategi Pengembangan Gang Hijau yang Asri dan Produktif di DKI Jakarta”.

Setiap rak minimal dapat memanen sayuran rata-rata 4 kilogram. Jika ada 30 rak, ada 120 kilogram sayuran dalam sekali panen. Jumlah tersebut tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan warga RT 007 RW 008 saja, tetapi juga warga di RT dan RW lainnya.

“Terutama saat bulan Ramadhan yang lalu. Warga banyak memasak dari sayuran yang dipanen dari sini,” ujar Fikri.

Menurut Fikri, keberadaan gang hijau di kampungnya memberikan kesempatan bagi warga kampung untuk menikmati sayuran yang bernutrisi dan higenis. Ia menilai, hal itu hanya bisa dinikmati warga kalangan ekonomi menengah ke atas selama ini.

“Kemarin ada supermarket juga yang tertarik membeli produk kami, tetapi masih kami diskusikan dengan warga. Jangan sampai mereka kekurangan,” katanya.

Tepis kesan kumuh

Sementara itu, hampir satu tahun lamanya Gang Hijau RT 008 RW 009 Kelurahan Kota Bambu Selatan, Palmerah, Jakarta Barat, menanggalkan kesan kumuhnya. Sejak Agustus 2019, gang ini resmi dinamakan gang hijau setelah 500 tanaman dipajang di sisi-sisi gang.

Warga beruntung mendapatkan bantuan ratusan tanaman tersebut dari PLN melalui program PLN Peduli. Sejak saat itu pula, pengurus RT mewajibkan setiap warganya menyumbangkan satu tanaman per bulan.

“Sebelumnya gang di sini kumuh dan pengap. Namun, dengan banyaknya tanaman, kesan tersebut berubah total,” kata pengelola gang hijau di RT 008 RW 009 Kelurahan Kota Bambu Selatan, Juriah.

Menurut Juriah, kebanyakan jenis tanaman di gang hijau Kota Bambu Selatan berjenis toga. Tanman tersebut di antaranya kelor, sirih (Piper betle), sambiloto (Andrographis paniculata), atau brotowali (Tinospora cordifolia).

Toga dipilih bukan tanpa alasan. Lokasi RT 008 RW 009 Kota Bambu Selatan terletak tepat di sebelah timur Rumah Sakit Darmais dan sisi selatan RS Harapan Kita. Di kampung tersebut juga banyak berdiri rumah kos untuk pasien yang berobat jalan di dua rumah sakit tersebut.

Keberadaan tanaman-tanaman jenis toga tersebut ternyata selama ini digemari oleh para pasien yang indekos di sana. Pengelola juga membebaskan para pasien untuk memetik tanaman yang mereka inginkan. “Pasien-pasien memang sering ambil tanaman dari sini. Kami bebaskan, barangkali bisa membantu pengobatan,” katanya.

Lokasi bertambah

Menurut Kepala Seksi Pasca Panen dan Pengelolaan Hasil Pertanian DKPKP Eti Rohaeti, berdasarkan data 2017, jumlah gang di DKI Jakarta sebanyak 2.258 lokasi. Sementara gang yang sudah dikembangkan menjadi gang hijau sebanyak 512 lokasi.

“Ini merupakan potensi yang luar biasa. Jika bisa diperluas lagi, Jakarta akan memiliki kampung yang hijau, asri dan produktif,” katanya.

Eti menambahkan, gang hijau tidak hanya memberikan manfaat dari sisi lingkungan, tetapi juga sisi ekonomi dan sosial. Sebab, di gang hijau tersebut ada ketahanan pangan dan gotong royong para warga.

Selain itu, tentu saja gang hijau ikut menyegarkan pemandangan. Pada akhirnya lokasi ini menjadi oase kecil di tengah sesaknya kehidupan Ibu Kota.

Oleh Fajar Ramadhan

Sumber: http://echogreen.id/2155-2/

Berbasis Pertahanan Berdaulat Pangan

Secara meyakinkan, Presiden Jokowi mengajak kita menyejajarkan persoalan ketahanan pangan nasional dengan pertahanan nasional. Tani sama pentingnya dengan TNI. Bahkan, Presiden telah menunjuk Menteri Pertahanan untuk memimpin langsung pembangunan cetak sawah baru untuk program lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah.

Menunjuk Menhan dalam pembangunan cetak sawah baru memang menarik sejumlah debat. Umumnya, pekerjaan teknik sipil dalam pembangunan diserahkan kepada Kementrian Pekerjaan Umum (PU). Sementara, teknis pembangunan petani dan pertanian diserahkan kepada Kementrian Pertanian. Apalagi, PU terbukti cepat dan berkualitas dalam membangun sejumlah infrastruktur. Sementara Kementan, meski terkesan belum menunjukkan sejumlah terobosan, secara birokrasi tentu lebih memahami secara sisi teknis, antropologis, dan sosiologis dunia pertanian.

Namun, ajakan Presiden terkait pembangunan food estate jangan sekedar mengentak sisi manajemen birokrasi. Menempatkan politik pangan nasional sebagai unit yang sama tingginya dengan pertahanan mesti diterjemahkan dalam beberapa aspek penting yang kita sebut Pertahanan Berdaulat Pangan. Pertama, proyek food estate sebelumnya yang dijalankan melalui Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua telah membuat pelepasan kawasan hutan yang mahaluas kepada sejumlah perusahaan atas nama proyek pangan. Namun, nilai penggundulan hutan seperti itu tidak sebanding jumlah investasi yang dilaporkan masuk. Proyek food estate Merauke gagal.

Berbeda dengan MIFEE yang didorong swasta, food estate di Kalimantan Tengah merupakan program ekstensifikasi lahan padi yang dimotori proyek pemerintah. Sementara, sebagian besar lahan proyek ini adalah eks proyek lahan gambut (PLG) di era Orde Baru. Hal ini mengkhawatirkan sebab pertanian padi di areal eks gambut telah diuji coba bertahun-tahun, hasilnya adalah pertanian pangan berbiaya mahal.

Tentu menjadi seperti simalakama, diberikan pengelolaan kepada swasta atau BUMN akan membutuhkan banyak insentif agar mereka berani masuk. Sementara jika dikelola rumah tangga petani, tingkat pendapatannya kecil karena produktivitas tanah rendah.

Dengan demikian, program lumbung pangan nasional yang tengah disiapkan belum mengarah pada model pertahanan pangan baru yang memberi suluh pada jalan kedaulatan pangan. Perlu mengajak kalangan akademisi dan praktisi untuk mengkaji kelaikan proyek ini.

Pertahanan pangan baru

Bagaimana sebaiknya kita memastikan model pertahanan pangan baru yang berdaulat? Telah kita ketahui, tentara pangan kita alias petani sebagian besar adalah kumpulan petani gurem, buruh tani, dan berada di Pulau Jawa yang subur. Almarhum Prof Sajogyo pernah mengusulkan agar kelompok ini didesain ke dalam badan usaha buruh tani. Denga dasar socio-agriculture semacam ini, dibutuhkan konsolidasi lahan, konsolidasi usaha, berbasis desa antar desa. Konsolidasi lahan dan konsolidasi usaha tani yang berisi petani gurem dan buruh tani ini tetap saja menghadapi kendala berupa lebih banyak tenaga produktif tersedia dibandingkan lahan. Rasio lahan per kapita tetap rendah.

Karena itu, konsolidasi usaha tani ini mesti bersamaan dengan menghidupkan perbenihan, pupuk, dan pestisida secara mandiri melalui sistem pertanian alami berkelanjutan juga usaha tani lain, yakni ternak dan perikanan darat. Sebenarnya, perkembangan revolusi teknologi 4.0 seharusnya lebih memudahkan pemahaman tentang konsolidasi lahan dan usaha tani yang berbasiskan data raksasa (big data) bagi perencana pembangunan pangan.

Terakhir langkah mengurangi kecilnya rasio lahan per petani adalah melakukan land reform dengan mengedepankan lahan-lahan lokal yang tersedia seperti eks HGU Perkebunan.

Pertahanan pangan memiliki musuh internal yang berbahaya, yakni alih fungsi lahan pertanian pangan. Bahkan, alih lahan subur, khususnya di Jawa dan Bali, mengkhawatirkan, rata-rata 56.000 hektar per tahun. Karena itu, mempertahankan lahan sawah yang ada dengan kebudayaan yang sudah terbentuk kemudian diberdayakan ke dalam konsolidasi lahan dan usaha jauh lebih strategis secara nasional dibandingkan program cetak sawah baru di lahan gambut. Larangan konversi lahan seperti amanat UU No 41/2009 harus ditegakkan.

Sejumlah uji coba yang dlakukan Konsorsium Pembaruan Agraria dengan menggunakan model Desa Maju Reforma Agraria yang serupa usulan itu memperlihatkan, konsolidasi lahan dan usaha yang direncanakan dalam skala desa telah membuat bukan saja pembenahan dari sisi produksi dan distribusi pangan melainkan relasi social masyarakat perdesaan, khususnya relasi jender.

Akhirnya, dengan model yang berbasiskan kenyataan petani gurem, buruh tani, desa, konsolidasi lahan dan usaha, serta land reform itulah, sistem pertahanan pangan semesta yang mesti diterapkan. Bahkan, pembangunan pertanian dan pangan dengan pola (fool estate) sebenarnya bukan konsep pertahanan pangan yang baik. Menyerahkan tulang punggung produksi pangan kepada perusahaan pangan membuat rapuh pertahanan pangan nasional.

Oleh Iwan Nurdin

Sumber: http://echogreen.id/basis-pertahanan-berdaulat-pangan/

Petani Muda Indonesia Hanya 1 Persen, Pakar IPB: Peluang Usaha Tani Besar

Dekan sekaligus dosen Fakultas Pertanian IPB University Sugiyanta mengatakan pentingnya membahas tren “green jobs” serta mendorong mahasiswa sebagai generasi muda untuk ikut bergelut dalam agrobisnis.

Menurutnya, angka petani muda di Indonesia hanya satu persen dibandingkan dengan generasi tua. Permasalahan sistem pangan pun kerap kali menjadi beban di pundak pemerintah.

“Tentu angka tersebut sangat mengecewakan. Kita pun dapat memandang hal tersebut sebagai masalah, demikian pula sebagai peluang. Peluang Anda ke depan menjadi pengusaha petani itu terbuka lebar,” paparnya merespon isu ketahanan pangan nasional yang dikhawatirkan terganggu di masa pandemi, seperti dilansir dari laman IPB University, Kamis (13/8/2020).

Ke depannya, diprediksi hanya segelintir generasi muda yang tertarik untuk menyelami usaha di dunia pertanian.

Kepemilikan sawah petani pun, kata dia, sebagian besar kurang dari satu hektar sehingga setinggi apapun produktivitasnya, dinilai tidak akan terlalu menguntungkan.

Petani Muda dan dukungan teknologi

Sugiyanta menerangkan, bantuan teknologi 4.0 untuk mempermudah petani dalam mengelola perkebunan dan persawahan menjadi nilai lebih untuk saat ini.

Lapangan kerja bagi generasi muda sendiri bisa diciptakan melalui Komunitas Estate Padi (KEP).

Anak muda dapat bekerja untuk mengorganisasikan dan mengelola padi secara efisien. Kerja sama dengan beberapa lembaga pun terbuka luas.

Direktur Kerja Sama dan Hubungan Alumni IPB University Syarifah Iis Aisyah menambahkan, mahasiswa juga perlu dibina untuk meningkatkan jumlah lulusan agronomi yang berwirausaha khususnya di bidang pertanian dan perikanan. Program kewirausahaan, kata dia, diperlukan untuk mengubah persepsi bahwa greenpreneur bukanlah pekerjaan yang sepele.

Bila dikelola secara profesional, keuntungannya pasti menjanjikan.

Fasilitas IPB University seperti Sabisa Farm pun dapat membantu mahasiswa mempelajari bagaimana memulai usaha di bidang agronomi.

Tren green jobs bagi generasi muda pun membawa Sandiaga Uno untuk membuka program Rumah Siap Kerja.

Selain untuk menciptakan lapangan kerja, program tersebut juga dibentuk dengan konsep lifetime companion untuk meningkatkan kualitas pendidikan serta keterampilan yang menjadi nilai penting agar generasi muda dapat bersaing di lapangan.

Menurut Sandiaga, saat ini Rumah Siap Kerja telah melatih lebih dari 15.000 orang serta telah membuka lebih dari 10.000 lapangan kerja. “Bahwa kami ingin menjadi sahabat untuk pengembangan karier, pengembangan skill, dan link and match. Khususnya di dunia kerja termasuk di sektor pertanian dan perikanan terutama juga sektor pangan,” ungkapnya.

Oleh Ayunda Pininta Kasih

Sumber: http://echogreen.id/petani-muda-indonesia-hanya-1-persen-pakar-ipb-peluang-usaha-tani-besar/

Konsil LSM Indonesia Gelar Sosialisasi Echo Green

Ulakan Padang Pariaman – “Mendorong Inisiasi Ekonomi Hijau Oleh Petani Perempuan dan Pemuda dalam Sektor Pertanian Berkelanjutan di Indonesia (ECHO-Green)” merupakan Thema dari program bersama yang didanai oleh Uni Eropa. Konsorsium yang terlibat dalam program bersama ini adalah Penabulu sebagai koordinator konsorsium yang bekerjasama dengan lembaga ICCO, Konsil LSM Indonesia dan KpSHK sebagai anggota konsorsium.

Bertempat di aula kantor Camat Ulakan Tapakis, Senin (31/8) dilaksanakan sosialisasi Program Echo Green terhadap wanita tani, petani muda dan wali nagari se Kecamatan Ulakan Tapakis sebanyak 30 orang peserta. Bertindak sebagai narasumber dalam sosialisasi itu, Bapak Misran Lubis selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM indonesia dan Camat Ulakan Tapakis Drs. Ali Amri, MM yang sekaligus memmbuka acara.

Usai penanda tanganan berita acara dan surat dukungan program oleh Camat mewakili pemerintah dengan Lusi Anggraini wakil dari Konsil LSM Indonesia yang disaksikan oleh wali nagari. Acara dilanjutkan dengan diskusi dan dialog secara daring, antara direktur eksekutif Konsil LSM Indonesia dengan para peserta sosialisasi.

Ketika ditemui usai acara, Drs. Ali Amri,MM Camat Ulakan Tapakis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Konsil LSM Indonesia berserta Tim, yang telah merancang Program yang sangat strategis untuk peningkatan wawasan para petani wanita dan petani muda di kecamatan Ulakan Tapakis.

“Semoga dengan adanya pertemuan ini, akan tercipta pemahaman dan komitmen bersama para pihak dalam implementasi pelaksanaan program ECHO Green, baik di tingkat Kecamatan maupun di nagari sebagai lokasi pelaksanaan program”. Ujar Ali Amri mengakhiri.

Lusi Anggraini selaku koordinator lapangan menjelaskan, Program ini akan dilaksanakan dalam periode tiga tahun (1 Januari 2020 – 31 Desember 2022) yang bertujuan mempromosikan inisiatif ekonomi hijau, oleh petani perempuan dan pemuda di sektor pertanian berkelanjutan dan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, keamanan pangan, peluang pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sebagai upaya mendukung pencapaian SDG2, SDG5 dan SDG8 di Indonesia.

Dalam pertemuan yang dilaksanakan secara daring tersebut, Misran Lubis menjelaskan
“Secara khusus, program ini akan fokus pada upaya untuk meningkatkan kolaborasi antara Organisasi Masyarakat Sipil (CSO), Pemerintah dan sektor swasta.

Secara efektif, program ini akan memperkuat keterlibatan petani perempuan dan pemuda dalam :
(1) perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan.
(2) meningkatkan pertanian berkelanjutan praktik di tiga kabupaten di Indonesia.

Untuk membangun pemahaman awal para pihak di Kabupaten Padang Pariaman, tentang konteks dan program ECHO GREEN. Tahapan implementasi kegiatan dan hasil yang dapat dilanjutkan bersama dalam pelaksanaan program serta dapat menjadi tindak lanjut bersama para pihak pada akhir program. Jelas Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia ini menutup pembicaraan melalui daring.

Program ECHO Green ini akan mendorong pengembangan kapasitas untuk kelompok tani perempuan dan pemuda di sektor pertanian. Yang akan bekerja di tiga kabupaten/Provinsi, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Untuk di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, fokus lokasi program berada di 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Anai, Lubuk Alung dan Ulakan Tapakis. (AS/KN)

Sumber: http://echogreen.id/konsil-lsm-indonesia-gelar-sosialisasi-echo-green/

Sosialisasikan Echo Green Pada Wanita Tani dan Petani Muda Ulakan Tapakis, Konsil LSM Indonesia Gandeng Pemerintah Kecamatan

Padang Pariaman,Media Putra Bhayangkara. Com. “Mendorong Inisiasi Ekonomi Hijau Oleh Petani Perempuan dan Pemuda dalam Sektor Pertanian Berkelanjutan di Indonesia (ECHO-Green)” merupakan Thema dari program bersama yang didanai oleh Uni Eropa. Konsorsium yang terlibat dalam program bersama ini adalah Penabulu sebagai koordinator konsorsium yang bekerjasama dengan lembaga ICCO, Konsil LSM Indonesia dan KpSHK sebagai anggota konsorsium.

Bertempat di aula kantor Camat Ulakan Tapakis, Senin (31/8) dilaksanakan sosialisasi Program Echo Green terhadap wanita tani, petani muda dan wali nagari se Kecamatan Ulakan Tapakis sebanyak 30 orang peserta. Bertindak sebagai narasumber dalam sosialisasi itu, Bapak Misran Lubis selaku Direktur Eksekutif Konsil LSM indonesia dan Camat Ulakan Tapakis Drs. Ali Amri, MM yang sekaligus memmbuka acara.

Usai penanda tanganan berita acara dan surat dukungan program oleh Camat mewakili pemerintah dengan Lusi Anggraini wakil dari Konsil LSM Indonesia yang disaksikan oleh wali nagari. Acara dilanjutkan dengan diskusi dan dialog secara daring, antara direktur eksekutif Konsil LSM Indonesia dengan para peserta sosialisasi.

Ketika ditemui usai acara, Drs. Ali Amri,MM Camat Ulakan Tapakis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Konsil LSM Indonesia berserta Tim, yang telah merancang Program yang sangat strategis untuk peningkatan wawasan para petani wanita dan petani muda di kecamatan Ulakan Tapakis.

“Semoga dengan adanya pertemuan ini, akan tercipta pemahaman dan komitmen bersama para pihak dalam implementasi pelaksanaan program ECHO Green, baik di tingkat Kecamatan maupun di nagari sebagai lokasi pelaksanaan program”, kata Ali Amri.

Disisi lain dalam acara tersebut Lusi Anggraini selaku koordinator lapangan menjelaskan, Program ini akan dilaksanakan dalam periode tiga tahun (1 Januari 2020 – 31 Desember 2022) yang bertujuan mempromosikan inisiatif ekonomi hijau, oleh petani perempuan dan pemuda di sektor pertanian berkelanjutan dan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, keamanan pangan, peluang pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, sebagai upaya mendukung pencapaian SDG2, SDG5 dan SDG8 di Indonesia.

Dalam pertemuan yang dilaksanakan secara daring tersebut, Misran Lubis menjelaskan
“Secara khusus, program ini akan fokus pada upaya untuk meningkatkan kolaborasi antara Organisasi Masyarakat Sipil (CSO), Pemerintah dan sektor swasta.

Secara efektif, program ini akan memperkuat keterlibatan petani perempuan dan pemuda dalam :
Perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan dan
meningkatkan pertanian berkelanjutan praktik di tiga kabupaten di Indonesia.

Untuk membangun pemahaman awal para pihak di Kabupaten Padang Pariaman, tentang konteks dan program ECHO GREEN. Tahapan implementasi kegiatan dan hasil yang dapat dilanjutkan bersama dalam pelaksanaan program serta dapat menjadi tindak lanjut bersama para pihak pada akhir program. Jelas Direktur Eksekutif Konsil LSM Indonesia ini menutup pembicaraan melalui daring.

Program ECHO Green ini akan mendorong pengembangan kapasitas untuk kelompok tani perempuan dan pemuda di sektor pertanian. Yang akan bekerja di tiga kabupaten/Provinsi, yaitu Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Untuk di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, fokus lokasi program berada di 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Batang Anai, Lubuk Alung dan Ulakan Tapakis. (AS/Leo)

Sumber : http://echogreen.id/sosialisasikan-echo-green-pada-wanita-tani-dan-petani-muda-ulakan-tapakis-konsil-lsm-indonesia-gandeng-pemerintah-kecamatan/

Ini 4 Prioritas Mentan Jaga Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi

Menteri Pertanian dari 46 negara di Asia Pasifik mengikuti Konferensi Regional Asia Pasifik (APRC) FAO ke-35. Pertemuan  yang digelar secara virtual untuk pertama kalinya itu membahas situasi terkini dari ketahanan pangan di kawasan.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Pertanian Syahrul Yassin Limpo menyatakan, terdapat empat prioritas Indonesia dalam situasi pandemi Covid-19. Prioritas ini menyoroti upaya negara untuk memperkuat ketahanan pangan dan sistem pangan dalam pandemi.

“Untuk menopang ketersediaan pangan bagi semua di era normal baru, kami telah mengembangkan kebijakan yang disebut 4 Cara Bertindak, yakni peningkatan kapasitas produksi, diversifikasi pangan lokal, penguatan cadangan pangan dan sistem logistik, pengembangan pertanian modern, ” ujarnya seperti dikutip dalam keterangan resminya, Jumat (4/9/2020).

Ia mengatakan, meski terjadi perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, namun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di sektor pertanian meningkat 2,19 persen secara tahunan pada kuartal II-2020 tahun. Bila dibandingkan kuartal sebelumnya, pertumbuhan sektor pertanian sebesar 16,24 persen.

Terlepas dari kemunduran global dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), peringkat ketahanan pangan Indonesia dalam indeks keamanan global telah meningkat dari peringkat 74 pada 2015 menjadi peringkat 62 pada 2019.

Selain itu, Prevalensi stunting menurun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 27,67 persen pada 2019.

Syahrul pun menyerukan pada peserta APRC untuk memperkuat kolaborasi dan mendukung FAO inisiatif hand in hand.

“Melalui Kerja Sama Selatan-Selatan dan Kerjasama Triangular. Indonesia siap untuk berbagi pengalamani dengan setiap negara di kawasan bersama-sama, untuk berkontribusi dalam pencapaian SDGs,” ujarnya.

Konferensi Regional FAO secara yang diselenggarakan setiap dua tahun merupakan forum untuk membahas tren dan tantangan regional saat ini dan kedepan.

Dalam konferensi tahun ini, inisiatif baru FAO ‘hand in hand’ menjadi salah satu bahasan utama. Inisiatif yang berfokus pada peningkatan kerjsama dan dukungan terhadap potensi daerah tertinggal dan kelompok penduduk yang rentan sejalan dengan komitmen PBB untuk ‘tidak meninggalkan siapa pun’.

Inisiatif menargetkan mereka yang paling rentan, terutama di kelompok populasi, wilayah, dan negara yang lebih miskin. Inisiatif akan berbasis pada bukti di lapangan dan memanfaatkan analisis komprehensif menggunakan data dan informasi geo-spasial multidimensi.

Adapun secara keseluruhan, konferensi apda tahun ini memberikan penekanan khusus pada efek penyebaran virus corona dan dampaknya pada sistem pangan di seluruh dunia dan kawasan Asia Pasifik.

Kawasan Asia Pasifik adalah rumah bagi lebih dari separuh jumlah penduduk dunia yang mengalami kekurangan gizi. Sementara itu, tingkat prevalensi kelaparan hanya turun sedikit dari yang diharapkan.

Kawasan ini masih jauh tertinggal dalam percepatan pengurangan kelaparan dan/atau kekurangan gizi sampai tahun 2030, sesuai dengan batas akhir SDGs yang ditetapkan oleh komunitas global untuk menghapuskan kelaparan.

Direktur Jenderal FAO QU Dongyu pun menyoroti dampak negatif terkait pandemi yang telah dirasakan di seluruh sistem pangan. Menurut dia, tindakan untuk mengendalikan wabah virus mengganggu rantai pasokan pangan global.

Pembatasan pergerakan di perbatasan dan penguncian (lockdown) menghancurkan mata pencaharian dan menghambat transportasi pangan bagi penduduk.

“Kehilangan dan pemborosan pangan meningkat, karena petani harus membuang bahan pangan yang mudah rusak, dan banyak orang di pusat kota yang berjuang untuk mendapatkan makanan segar,” katanya.

Dongyu menekankan bahwa petani kecil dan keluarganya, pekerja pangan di semua sektor, serta mereka yang hidup di sistem ekonomi yang bergantung pada komoditas dan pariwisata, sangatlah rentan. Oleh sebab itu, mereka semua perlu mendapatkan perhatian khusus.

“Kita perlu mengkaji kembali sistem pangan dan rantai nilai pangan, kita harus lebih memanfaatkan inovasi dan teknologi pertanian yang ada, dan mempertimbangkan teknologi terbaru,” kata Dong Gyu.

Adapun dalam upaya menghadapi pandemi, FAO juga telah meluncurkan program respons dan pemulihan Covid-19, yang memungkinkan donor untuk memanfaatkan kekuatan organisasi, data terkini, sistem peringatan dini, dan keahlian teknis untuk mengarahkan dukungan di daerah mana dan kapan paling dibutuhkan.

Oleh Yohana Artha Uly

Sumber: http://echogreen.id/ini-4-prioritas-mentan-jaga-ketahanan-pangan-di-tengah-pandemi/

Lahan Produktif Pertanian Grobogan Didesak Tak Beralih Fungsi

GROBOGAN, suaramerdeka.com – Lahan produktif pertanian di Kabupaten Grobogan didesak untuk tidak beralih fungsi, baik menjadi sektor perindustrian maupun pemukiman. Pasalnya sektor pangan merupakan bagian penting untuk menopang perekonomian, terutama di masa pandemi.

Staf Advokasi dan Kemitraan ECHO Green Sardi Winata mengemukakan, keberlanjutan lahan produktif pertanian harus tetap dijaga agar tidak terjadi krisis pangan saat pandemi. Menurutnya, beberapa negara mulai kesulitan pangan akibat pandemi ini. “Kabupaten Grobogan ini penyokong pangan secara nasional. Ini harus terus dijaga, dengan menjaga lahan produktif pertaniannya. Selain itu, peran serta pemuda dan perempuan di sektor pertanian juga perlu didorong lagi,” katanya.

Sardi menjelaskan, program ECHO Green dari Yayasan Penabulu bersama konsorsiumnya yang mendapat dukungan dari uni eropa itu dilaksanakan di dua kecamatan Kabupaten Grobogan, yakni Kecamatan Godong dan Kecamatan Penawangan. Program tersebut akan berlangsung selama tiga tahun.

Pada tahun pertama, pihaknya melakukan pemetaan tata ruang desa lebih dulu. Itu sebagai upaya konsolidasi dengan kepala desa. Kegiatan itu dilakukan untuk mengetahui kondisi ruang pertanian di masing-masing desa, sehingga, napas pertanian bisa terjaga.

Di tahun kedua, pihaknya baru masuk ke sektor pertanian langsung. Pada tahap ini, pihaknya mulai menyentuh para petani, tentunya petani perempuan dan petani muda. Di kesempatan itu pihaknya terus mendorong mereka untuk terlibat dalam rantai pertanian, mulai dari pemilihan benih hingga pemasarannya.

“Rantai pertanian ini panjang, mulai dari pemilihan benih berkualitas, hingga pemasarannya. Nah, mereka bisa terlibat di sana, apakah sebagai penentu pemilihan benih, penggunaan benih, hingga bagaimana hasil panen tersebut dipasarkan,” ujarnya.

Tahun selanjutnya, Sardi berharap pelaksanaan program ECHO Green bisa digaungkan di daerah lain. Di mana, pemuda dan perempuan bisa sukses di sektor lainnya. Kabupaten Grobogan sendiri merupakan salah satu pilot project selain di Lombok Timur, Provinsi NTB dan Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.

“Untuk sukseskan itu, ada tiga komponen kemitraan yang kami bangun, yakni dengan pemerintah, kelompok tani, dan swasta. Pemerintah dengan regulasi untuk mendorong partisipan pemuda dan perempuan pada pertanian, dan apa yang dihasilkan bisa ditangkap swasta untuk pemasarannya,” jelasnya.

Sesuai nama programnya, Sardi berharap kegiatan pertanian yang dilaksanakan nanti adalah pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan. ‘’Salah satunya dengan pupuk organik sehingga menghasilkan produk yang sehat. Tapi itu kembali ke masing-masing,” tandasnya.

Oleh Zulkifli Z Fahmi

Sumber: http://echogreen.id/lahan-produktif-pertanian-grobogan-didesak-tak-beralih-fungsi/